Kondisi politik, ekonomi, dan budaya masa penjajahan Jepang



ASPEK SOSIAL


Pemerintahan Jepang saat itu mencetuskan kebijakan tenaga kerja Romusha. Pada awalnya pembentukan Romusha ini mendapat sambutan baik dari rakyat
Indonesia, justru banyak yang bersedia untuk jadi sukarelawan. Namun semua itu berubah ketika kebutuhan Jepang untuk berperang meningkat.

Pengerahan Romusha menjadi sebuah keharusan, bahkan paksaan. Hal tersebut membuat rakyat menjadi sengsara. rakyat dipaksa membangun semua sarana
perang yang ada di Indonesia. Selain di Indonesia, rakyat juga dikerja paksakan sampai ke luar negeri.

Ada yang dikirim ke Vietnam, Burma (sekarang Myanmar), Muangthai (Thailand), dan Malaysia. Semua dipaksa bekerja sepanjang hari, tanpa diimbangi
upah dan fasilitas hidup yang layak. Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak kembali lagi ke kampung halaman karena sudah meninggal dunia.

Selain Romusha, Jepang juga membentuk Jugun Ianfu. Jugun Ianfu adalah tenaga kerja perempuan yang direkrut dari berbagai Negara Asia seperti
Indonesia, Cina, dan korea. Perempuan-perempuan ini dijadikan perempuan penghibur bagi tentara Jepang. Sekitar 200.000 perempuan Asia dipaksa menjadi Jugun Ianfu

ASPEK BUDAYA


Pemerintahan Jepang pernah mencoba menerapkan kebudayaan memberi hormat ke arah matahari terbit kepada rakyat Indonesia.
Dalam masyarakat Jepang, kaisar memiliki tempat tertinggi, karena diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari.

Jepang berusaha menerapkan nilai-nilai kebudayaannya kepada bangsa Indonesia. Tetapi langsung mendapat pertentangan dan perlawanan dari masyarakat di Indonesia.
Bangsa kita ini hanya menyembah Sang Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa mana mungkin setuju memberi hormat dengan membungkukkan punggung dalam-dalam (seikerei) ke arah matahari terbit.

Penangkapan ulama oleh Jepang


Potongan gambar pada film Sang Kiyai, menggambarkan kondisi saat tentara Jepang menangkap ulama-ulama yang menolak 'Seikerei'
Dahulu, para seniman dan media pers kita tidak sebebas sekarang. Pemerintahan Jepang mendirikan pusat kebudayaan yang diberi nama Keimin Bunkei Shidoso.

Lembaga ini yang kemudian digunakan Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan kegiatan para seniman agar karya-karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang.
Bahkan media pers pun berada di bawah pengawasan pemerintahan Jepang.

ASPEK POLITIK


Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang selalu mengajak bekerja sama golongan-golongan nasionalis.
Hal ini jelas berbeda dibandingkan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.

Saat itu golongan nasionalis selalu dicurigai. Golongan nasionalis mau bekerja sama dengan pemerintahan Jepang karena Jepang banyak membebaskan pemimpin nasional Indonesia dari penjara, seperti Soekarno, Hatta, dan juga Sjahrir.

Jepang mengajak kerja sama golongan nasionalis Indonesia, Karena Jepang menganggap bahwa golongan nasionalis ini memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia.
Saat itu, Wakil Kepala Staf Tentara Keenam Belas, Jenderal Harada Yosyikazu, bertemu dengan Hatta untuk menyatakan bahwa Jepang tidak ingin menjajah Indonesia, melainkan ingin membebaskan bangsa Asia.

Karena itulah Hatta mererima ajakan kerja sama Jepang. Akan tetapi, Sjahrir dan dr. Tjipto Mangunkusumo tidak mererima tawaran kerja sama Jepang.
Namun, kemudian Jepang mengeluarkan undang-undang yang terkait pada bidang politik yang justru banyak merugikan bangsa Indonesia. Beberapa di antaranya:

Undang-undang penjajahan Jepang


1.

Undang-undang Nomor 2 tanggal 8 Maret tahun 1942, tentang larangan kepada orang Indonesia untuk berserikat dan berkumpul

2.

Undang-undang Nomor 3 tanggal 10 Mei tahun 1942, tentang larangan kepada orang Indonesia untuk memperbincangkan pergerakan atau propaganda perihal peraturan dan susunan Negara.

3.

Undang-undang tanggal 22 Juni tahun 1942, tentang larangan pendirian organisasi yang bersifat politik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kondisi politik ekonomi sosial & budaya masa orde baru